Selasa, 02 Februari 2016

KOMUNIKASI ORGANISASI



KOMUNIKASI ORGANISASI

A. Pengertian Komunikasi Organisasi.
Istilah organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harafiah berarti paduan dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Di antara para ahli ada yang menyebut paduan itu sistem, ada juga yang menamakannya sarana.
Everet M. Rogers dalam bukunya Communication in Organization, mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas. Robert Bonnington dalam buku Modern Business: A Systems Approach, mendefinisikan organisasi sebagai sarana dimana manajemen mengoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.
Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat, dan sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk selanjutnya menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat komunikasi dilancarkan.
Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual.
Conrad (dalam Tubbs dan Moss, 2005) mengidentifikasikan tiga komunikasi organisasi sebagai berikut: fungsi perintah; fungsi relasional; fungsi manajemen ambigu.
1. Fungsi perintah berkenaan dengan angota-anggota organisasi mempunyai hak dan kewajiban membicarakan, menerima, menafsirkan dan bertindak atas suatu perintah. Tujuan dari fungsi perintah adalah koordinasi diantara sejumlah anggota yang bergantung dalam organisasi tersebut.
2. Fungsi relasional berkenaan dengan komunikasi memperbolehkan anggota-anggota menciptakan dan mempertahankan bisnis produktif hubungan personal dengan anggota organisasi lain. Hubungan dalam pekerjaan mempengaruhi kenirja pekerjaan (job performance) dalam berbagai cara. Misal: kepuasan kerja; aliran komunikasi ke bawah maupun ke atas dalam hirarkhi organisasional, dan tingkat pelaksanaan perintah. Pentingnya dalam hubungan antarpersona yang baik lebih terasa dalam pekerjaan ketika anda merasa bahwa banyak hubungan yang perlu dlakukan tidak anda pilih, tetapi diharuskan oleh lingkungan organisasi, sehingga hubungan menjadi kurang stabil, lebih memacu konflik, kurang ditaati, dsb.
3. Fungsi manajemen ambigu berkenaan dengan pilihan dalam situasi organisasi sering dibuat dalam keadaan yang sangat ambigu. Misal: motivasi berganda muncul karena pilihan yang diambil akan mempengaruhi rekan kerja dan organisasi, demikian juga diri sendiri; tujuan organisasi tidak jelas dan konteks yang mengharuskan adanya pilihan tersebut adanya pilihan tersebut mungkin tidak jelas. Komunikasi adalah alat untuk mengatasi dan mengurangi ketidakjelasan (ambiguity) yang melekat dalam organisasi. Anggota berbicara satu dengan lainnya untuk membangun lingkungan dan memahami situasi baru, yang membutuhkan perolehan informasi bersama.



B. Pengaruh Komunikasi terhadap Perilaku Organisasi.
Sebagai komunikator, seorang pemimpin organisasi, manajer, atau administrator harus memilih salah satu berbagai metode dan teknik komunikasi yang disesuaikan dengan situasi pada waktu komunikasi dilancarkan. Sebagai komunikator, seorang manajer harus menyesuaikan penyampaian pesannya kepada peranannya yang sedang dilakukannya. Dalam hubungan ini, Henry Mintzberg seorang profesor manajemen pada McGill University di Montreal-Kanada, menyatakan wewenang formal seorang manajer menyebabkan timbulnya tiga peranan: peranan antarpersona; peranan informasi; dan peranan memutuskan.
  1. Peranan antarpersona seorang manajer meliputi tiga hal:
    1. Peranan tokoh. Kedudukan sebagai kepala suatu unit organisasi, membuat seorang manajer melakuan tugas yang bersifat keupacaraan. Karena ia merupakan seorang tokoh, maka selain memimpim berbagai upacara di kantornya, ia juga diundang oleh pihak luar untuk menghadiri berbagai upacara. Dalam peranan ini seorang manajer berkesempatan untuk memberikan penerangan, penjelasan, imbauan, ajakan, dll.
    2. Peranan pemimpin. Sebagai pemimpin, seorang manajer bertanggung jawab atas lancar-tidaknya pekerjaan yang dilakukan bawahannya. Beberapa kegiatan bersangkutan langsung dengan kepemimpinannya pada semua tahap manajemen: penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan penilaian. Ada juga kegiatan-kegiatan yang tidak langsung berkaitan dengan kepemimpinannya, antara lain memotivasi para karyawan agar giat bekerja. Untuk melaksanakan kepemimpinannya secara efektif, maka ia harus mampu melaksanakan komunikasi secara efektif. Dalam konteks kepemimpinan, seorang manajer berkomunikasi efektif bila ia mampu membuat para karyawan melakukan kegiatan tertentu dengan kesadaran, kegairahan, dan kegembiraan. Dengan suasana kerja seperti itu akan dapat diharapkan hasil yang memuaskan.
    3. Peranan penghubung. Dalam peranan sebaga penghubung, seorang manajer melakukan komunikasi dengan orang-orang di luar jalur komando vertikal, baik secara formal maupun secara tidak formal.
  1. Peranan informasi. Dalam organisasinya, seorang manajer berfungsi sebagai pusat informasi. Ia mengembangkan pusat informasi bagi kepentingan organisasinya. Peranan informasional meliputi peranan-peranan sebagai berikut:
    1. Peranan monitor. Dalam melakukan peranannya sebagai monitor, manajer memandang lingkungan sebagai sumber informasi. Ia mengajukan berbagai ertanyaan kepada rekan-rekannya atau kepada bawahannya, dan ia menerima informasi pula dari mereka tanpa diminta berkat kontak pribadinya yang selalu dibinanya.
    2. Peranan penyebar. Dalam peranannya sebagai penyebar ia menerima dan menghimpun informasi dari luar yang penting artinya dan bermanfaat bagi organisasi, untuk kemuian disebarkan kepada bawahannya
    3. Peranan juru bicara. Peranan ini memiliki kesamaan dengan peranan penghubung, yakni dalam hal mengkomunikasikan informasi kepada khalayak luar. Perbedaannya ialah dalam hal caranya: jika dalam peranannya sebagai penghubung ia menyampaikan informasi secara antarpribadi dan tidak selalu resmi, namun dalam perananya sebagai juru bicara tidak selamanya secara kontak pribadi, tetapi selalu resmi. Dalam peranannya sebagai juru bicara itu ia juga harus mengkomunikasikan informasi kepada orang-orang yang berpengaruh yang melakukan pengawasan terhadap organisasinya. Kepada khalayak di luar organisasinya ia memberikan informasi dalam rangka pengembangan organisasinya. Ia meyakinkan khalayak bahwa organisasi yang dipimpinnya telah melakukan tanggung jawab sosial sebagaimana mestinya. Ia meyakinkan pula para pejabat pemerintah bahwa organisasinya berjalan sesuai dengan peratruran sebagaimana harusnya.
  1. Peranan memutuskan. Seorang manajer memegang peranan yang sangat penting dalam sistem pengambilan keputusan dalam organisasinya. Ada empat peranan yang dicakup pada peranan ini:
    1. Peranan wiraswasta. Seorang manajer berusaha memajukan organisasinya dan mengadakan penyesuaian terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Ia senantiasa memandang ke depan untuk mendapatkan gagasan baru. Jika sebuah gagasan muncul, maka ia mengambil prakarsa untuk mengembangkan sebuah proyek yang iawasinya sendiri atau didelegasikannya kepad bawahannya.
    2. Peranan pengendali gangguan. Seorang manajer berusaha sebaik mungkin menanggapi setiap tekanan yang menimpa organisasi, seperti buruh mogok, para pelanggan menghilang, dsb.
    3. Peranan penentu sumber. Seorang manajer bertanggung jawab untuk memutuskan pekerjaan apa yang harus dilakukan, siapa yang akan melaksanakan, dan bagaimana pembagian pekerjaan dilangsungkan. Manajer juga mempunyai kewenangan mengenai pengambilan keputusan penting sebelum implementasi dijalankan. Dengan kewenangan itu, manajer dapat memastikan bahwa keputusan-keputusan yang berkaitan semuanya berjalan melalui pemikran tunggal.
    4. Peranan perunding. Manajer melakukan peranan perunding bukan saja mengenai hal-hal yang resmi dan langsung berhubungan dengan organisasi, melainkan juga tentang hal-hal yang tidak resmi dan tidak langsung berkaitan dengan kekaryaan. Bagi manajer, perundingan merupakan gaya hidup karena hanya ialah yang mempunyai wewenang untuk menanggapi sumber-sumber organisasional pada waktu yang tepat, dan hanya ialah yang merupakan pusat jaringan informasi yang sangat diperlukan bagi perundingan yang penting.
Menurut Gibson et al. (1997) terdapat tiga jenis komunikasi formal dalam organisasi, yaitu : komunikasi horizontal, komunikasi diagonal, dan komunikasi vertikal.
1.    Komunikasi horizontal (komunikasi lateral/menyamping)
Komunikasi horizontal merupakan bentuk komunikasi secara mendatar dimana terjadi pertukaran pesan secara menyamping dan dilakukan oleh dua pihak yang mempunyai kedudukan sama, posisi sama, jabatan se-level, maupun eselon yang sama dalam suatu organisasi. Menurut Daft (2003), komunikasi bentuk ini selain berguna untuk menginformasikan juga untuk meminta dukungan dan mengkoordinasikan aktivitas. Komunikasi horizontal diperlukan untuk menghemat waktu dan memudahkan koordinasi sehingga mempercepat tindakan (Robbins, 2001). Kemudahan koordinasi ini menurut Liaw (2006) disebabkan adanya tingkat, latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang relatif sama antara pihak-pihak yang berkomunikasi, serta adanya struktur formal yang tidak ketat.
2.    Komunikasi diagonal (komunikasi silang)
Komunikasi diagonal merupakan komunikasi yang berlangsung dari satu pihak kepada pihak lain dalam posisi yang berbeda, dimana kedua pihak tidak berada pada jalur struktur yang sama. Komunikasi diagonal digunakan oleh dua pihak yang mempunyai level berbeda tetapi tidak mempunyai wewenang langsung kepada pihak lain. Koontz et al. (1989) mengatakan bahwa komunikasi silang ini tidak mengikuti hirarki organisasi tetapi memotong garis komando. Komunikasi ini merupakan saluran komunikasi yang jarang digunakan dalam organisasi, namun penting dalam situasi dimana anggota tidak dapat berkomunikasi secara efektif melalui saluran lain. Penggunaan komunikasi ini selain untuk menanggapi kebutuhan dinamika lingkungan organisasi yang rumit, juga mempersingkat waktu dan memperkecil upaya yang dilakukan organisasi (Gibson et al., 1997).
3.    Komunikasi vertikal
Komunikasi vertikal adalah komunikasi yang terjadi antara atasan dan bawahan dalam organisasi. Robbins (2001) menjelaskan bahwa komunikasi vertikal adalah komunikasi yang mengalir dari satu tingkat dalam suatu organisasi/kelompok ke suatu tingkat yang lebih tinggi atau tingkat yang lebih rendah secara timbal balik. Dalam lingkungan organisasi atau kelompok kerja, komunikasi antara atasan dan bawahan menjadi kunci penting kelangsungan hidup suatu organisasi. Bahkan menurut Stoner dan Freeman (1994), dua per tiga dari komunikasi yang dilakukan dalam organisasi antara atasan dan bawahan berlangsung secara vertikal, sehingga peran komunikasi vertikal sangat urgen dalam organisasi.

C. Dimensi-Dimensi Komunikasi dalam Kehidupan Organisasi
  1. Komunikasi internal.
Komunikasi internal organisasi adalah proses penyampaian pesan antara anggota-anggota organisasi yang terjadi untuk kepentingan organisasi, seperti komunikasi antara pimpinan dengan bawahan, antara sesama bawahan, dsb. Proses komunikasi internal ini bisa berujud komunikasi antarpribadi ataupun komunikasi kelompok. Juga komunikasi bisa merupakan proses komunikasi primer maupun sekunder (menggunakan media nirmassa). Komunikasi internal ini lazim dibedakan menjadi dua, yaitu:
    1. Komunikasi vertikal, yaitu komunikasi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Komunikasi dari pimpinan kepada bawahan dan dari bawahan kepada pimpinan. Dalam komunikasi vertikal, pimpinan memberikan instruksi-instruksi, petunjuk-petunjuk, informasi-informasi, dll kepada bawahannya. Sedangkan bawahan memberikan laporan-laporan, saran-saran, pengaduan-pengaduan, dsb. kepada pimpinan.
    2. Komunikasi horizontal atau lateral, yaitu komunikasi antara sesama seperti dari karyawan kepada karyawan, manajer kepada manajer. Pesan dalam komunikasi ini bisa mengalir di bagian yang sama di dalam organisasi atau mengalir antarbagian. Komunikasi lateral ini memperlancar pertukaran pengetahuan, pengalaman, metode, dan masalah. Hal ini membantu organisasi untuk menghindari beberapa masalah dan memecahkan yang lainnya, serta membangun semangat kerja dan kepuasan kerja.
  1. Komunikasi eksternal.
Komunikasi eksternal organisasi adalah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan khalayak di luar organisasi. Pada organisasi besar, komunikasi ini lebih banyak dilakukan oleh kepala hubungan masyarakat dari pada pimpinan sendiri. Yang dilakukan sendiri oleh pimpinan hanyalah terbatas pada hal-hal yang ianggap sangat penting saja. Komunikasi eksternal terdiri dari jalur secara timbal balik:
a. Komunikasi dari organisasi kepada khalayak. Komunikasi ini dilaksanakan umumnya bersifat informatif, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak merasa memiliki keterlibatan, setidaknya ada hubungan batin. Komunikasi ini dapat melalui berbagai bentuk, seperti: majalah organisasi; press release; artikel surat kabar atau majalah; pidato radio; film dokumenter; brosur; leaflet; poster; konferensi pers.
b. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi merupakan umpan balik sebagai efek dari kegiatan dan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi.

D. Hambatan Komunikasi Organisasi
Berikut ini hambatan-hambatan komunikasi dalam organisasi :
1.     Gangguan
Ada dua jenis gangguan terhadap jalannya komunikasi yang menurut sifatnya dapat diklasifikasikan sebagai gangguan mekanik dan gangguan sematik.
a.       Gangguan Mekanik adalah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Misalnya bunyi kendaraan yang lewat ketika pemimpin sedang berbicara dalam suatu pertemuan.
b.      Gangguan Sematik adalah bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Gangguan sematik tersaring ke dalam pesan melalui penggunaan bahasa. Lebih banyak kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang disampaikan komunikator yang diartikan lain oleh komunikan sehingga menimbulkan salah pengertian.

2.     Kepentingan
Interest atau kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau menghayati suatu pesan. Orang hanya akan memperhatikan prasangka yang ada hubungannya dengan kepentingannya, karena kepentingan bukan hanya mempengaruhi perhatian, tetapi juga menentukan daya tanggap, perasaan, pikiran dan tingkah laku kita akan merupakan sikap reaktif terhadap segala perangsang yang tidak bersesuaian atau bertentangan dengan suatu kepentingan.
3.     Motivasi Terpendam
Motivasi akan mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu yang sesuai benar dengan keinginan, kebutuhan dan kekurangannya. Semakin sesuai komunikasi dengan motivasi seseorang, maka semakin besar kemungkinan komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh pihak yang bersangkutan, begitu juga sebaliknya.
4.     Prasangka
Prasangka atau prejudice merupakan salah satu hambatan bagi suatu kegiatan komunikasi. Orang yang mempunyai prasangka bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak melancarkan komunikasi sehingga sulit bagi komunikator untuk mempengaruhi komunikan. Prasangka mengakibatkan komunikan menjadi berfikir tidak rasional dan berpandangan negatif terhadap komunikasi yang sedang terjadi.  (Effendy).
Kelancaran komunikasi mempengaruhi efisiensi kerja. Cara yang efektif agar proses komunikasi atasan bawahan dapat berjalan dengan lancar, maka dengan mempergunakan sistem dialogis. Komunikasi dialogis yaitu komunikasi dua arah yang bersifat timbal balik “penyampai pesan adalah juga penerima pesan”. Komunikasi dialogis berfungsi untuk menghindari kecendrungan pemimpin untuk menafsirkan sendiri setiap pesan atau instruksi yang ia berikan.
“… dalam dunia kerja kita mengenal komunikasi atasan-bawahan, maksudnya komunikasi yang terjadi antara pihak atasan dan bawahannya yang dapat berbentuk penyampaian informasi, pesan, ataupun instruksi.” (Anoraga).
Komunikasi dialogis memiliki banyak manfaat bagi bawahannya sendiri. Terbukanya kesempatan bawahan dalam mengemukakan ide-ide, kritikan dan saran yang akan memberikan kepuasan tersendiri sehingga karyawan tersebut termotivasi dalam bekerja. Kesempatan bawahan untuk mengemukakan pendapat tentunya akan menjadi masukan dan memperkaya pemikiran baru bagi pimpinan.
Menurut Pandji Anoraga, terdapat hambatan-hambatan yang dialami atasan maupun bawahan dalam proses komunikasi dialogis.

            Hambatan-hambatan pada pihak atasan:
a.     Kurangnya kesediaan mendengarkan.
Sikap dan tingkah laku atasan dalam mendengarkan memainkan peranan penting bagi komunikasi dialogis yang efektif.
b.    Segan terlibat urusan pribadi.
Para atasan umumnya segan terlibata dengan persolan bawahan yang bersifat pribadi. Di lain pihak, bawahan sering sulit memisahkan antara persoalan pribadi dengan persolan pekerjaan sehingga mereka sukar membicarakan hal tersebut.
c.     Prasangka.
Komunikasi dilaogis membuat bawahan berkesempatan menyalurkan apa yang ia pendam di hati, serta dapat melepaskan ganjalan emosional dan ketidakpuasan. Atasan berprasangka dengan adanya komunikasi dialogis akan memperkuat kebiasaan mengeluh dan mengkritik dari para bawahan. Semestinya dengan keluhan dan kritikan tersebut atasan mudah menyadari dan mengetahui kegagalan dan kekeliruan yang terjadi.
d.    Sikap bertahan.
Kita semua cenderung mempertahankan diri dengan komunikasi dialogis, kemungkinan kekeliruan atasan akan diketahui bawahan menjadi lebih besar. Padahal itu tidak mengurangi kredibilitas atasan dimata bawahannya. Bahkan bila atasan bersikap terbuka dan sportif, maka penghargaan bawahannya akan semakin bertambah.
e.     Kurang waktu
Mendengarkan itu memakan waktu. Banyak atasan yang tenggelam dengan kesibukan kerjanya. Hal demikian membuat pemimpin sukar sekali menyediakan waktu untuk diskusi. Kesulitan ini lebih terasa bagi atasan yang berjalan sendiri, memecahkan sendiri persoalan-persoalan di unit kerjanya, dan tidak kenal sistem diskusi dengan bawahan.
                                                                   
Hambatan-hambatan pada pihak bawahan:
a.     Keterbatasan pengetahuan.
Hambatan pengetahuan sering mempersulit komunikasi dari bawahan ke atasan. Bagi atasan, menyampaikan gagasan dan pesan buat bawahannya tidak sukar karena ia tentu memahami wawasan dan cara berfikir serta persoalan-persoalan pada level bawahan yang lebih banyak menghadapi kesulitan untuk berkomunikasi dengan atasannya, yang tidak ia ketahui bagaimana lingkungan lingkup kerja, cara berfikir dan persoalan-persoalnnya.
b.    Prasangka emosional.
Kebanyakan bawahan punya sikap emosional dan prasangka. Perasaan-perasan mereka sering bercampur aduk dengan pengamatannya terhadap persoalan-persoalan. Sering kali dalam mengemukakan pendapatnya, jauh-jauh hari mereka sudah siap bahwa pendapat tersebut pasti ditolak. Akibatnaya mereka sering ragu-ragu berbicara. Kalau pendapatnya ditolak, prasangka makin tebal. Tetapi jika pendapatnya diterima mereka pun terkejut.
c.     Perbedaan wewenang
Komunikasi dari atasan ke bawahan lebih mudah dibandingkan sebaliknya. Para atasan lebih bebas untuk memanggil dan berbicara dengan bawahannya kapan saja ia mau. Bawahan umumnya tidak punya keberanian psikologis sebesar itu.  (Anoraga).
    
Untuk mengatasi hambatan-hambatan pada proses komunikasi dialogis antara pemimpin dan karyawan, maka sorang pemimpin harus dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat sesuai kondisi perusahaan.

Daftar pustaka

(Sumber tulisan : Anoraga, Drs. Pandji, 1995. Psikologi Kepemimpinan. Rineka Cipta, Bandung.
Effendi,. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti, Bandung.)
Onong Effendy, 1994, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wiryanto, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Grameia Wiiasarana Indonesia.
Tubbs, Stewart L. – Moss, Sylvia, Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005, h. 170.
http://adiprakosa.blogspot.co.id/2008/07/komunikasi-organisasi.html